Imigrasi Semarang Tolak Penerbitan Puluhan Paspor

SEMARANG, KOMPAS — Belakangan, pengungkapan kasus tindak pidana perdagangan orang yang menimbulkan korban ribuan orang dilakukan secara masif di Jawa Tengah. Kantor Imigrasi Semarang turut mencegah tindak pidana tersebut, salah satunya melalui penolakan penerbitan paspor calon pekerja migran yang tidak sesuai prosedur.
Kepala Kantor Imigrasi Kelas 1 Semarang Guntur Sahat Hamonangan mengatakan, pencegahan TPPO dimulai saat calon pekerja migran mengajukan permohonan paspor. Dalam proses tersebut, petugas Imigrasi akan mengecek secara teliti kebenaran persyaratan formil dan materiil terhadap dokumen persyaratan yang diajukan.
”Dokumen persyaratannya harus sesuai dengan peruntukan. Jika tidak akan ditunda atau ditolak. Tidak hanya itu, pendalaman wawancara terhadap alasan dan tujuan pembuatan paspor juga menjadi fokus petugas. Hal itu untuk mendeteksi apabila ada indikasi hal-hal yang tidak benar,” kata Guntur, Rabu (14/6/2023).
Menurut catatan Kantor Imigrasi Kelas 1 Semarang, ada 3.098 permohonan penerbitan paspor untuk calon pekerja migran yang diajukan sepanjang Januari-Mei 2023. Dari jumlah itu, 30 permohonan yang dianggap tidak sesuai prosedur ditunda.
Sementara itu, pada Januari-Desember 2022, Kantor Imigrasi Kelas 1 Semarang menerima 8.797 permohonan paspor untuk calon pekerja migran. Dari seluruh permohonan yang diajukan sepanjang tahun, 41 permohonan ditunda lantaran tidak sesuai prosedur.
Guntur menambahkan, pihaknya terus bekerja sama dengan berbagai instansi terkait untuk menyosialisasikan pencegahan TPPO kepada masyarakat. Melalui sosialisasi tersebut, masyarakat yang akan bekerja di luar negeri diharapkan bisa berangkat sesuai prosedur dan tidak menjadi korban dalam TPPO.
Selain Kantor Imigrasi, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) juga gencar melakukan sosialisasi kepada masyarakat. BP2MI Wilayah Jateng, misalnya, rutin melakukan sosialisasi di daerah-daerah kantong pekerja migran hingga ke kampus-kampus yang ada di Jateng.
Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) BP2MI Wilayah Jateng Pujiono menyatakan, pihaknya telah menjalin kerja sama dengan pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya terkait penempatan dan perlindungan terhadap pekerja migran. Sejauh ini, ada 15 pemerintah kabupaten/kota yang sudah menandatangani nota kesepahaman terkait pencegahan TPPO.
”Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, pemerintah desa juga memiliki tugas untuk menyebarluaskan informasi kepada warga desa terkait pencegahan TPPO, aktif dalam memberikan perlindungan, hingga melakukan pemberdayaan masyarakat. Verfikasi jati diri warga yang hendak bekerja ke luar negeri juga diharapkan dilakukan sedetail mungkin untuk menghindari kemungkinan warga menjadi korban TPPO,” ujar Pujiono.
Pujiono meminta masyarakat untuk kritis saat menerima informasi terkait penyaluran pekerja migran. Sebelum menyatakan kesediaannya diberangkatkan, mereka perlu mengecek legalitas perusahaan penyalur tenaga kerja melalui Jendela PMI di situs resmi Kementerian Ketenagakerjaan. Apabila kesulitan, calon pekerja bisa mendatangi dinas ketenagakerjaan setempat untuk menanyakan legalitas perusahaan tersebut.
Pujiono menambahkan, pihak yang boleh menempatkan pekerja itu badan dan perusahaan. Badan yang dimaksud adalah BP2MI dengan skema government to government atau government to private.
”Kemudian, untuk perusahaan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017, pelaksanaan penempatan pekerja migran Indonesia dengan skema private to private. Ini hanya untuk (perusahaan) yang berizin dari Kementerian Ketenagakerjaan dan harus punya surat izin perekrutan dari BP2MI. Kemudian, bisa juga dilakukan oleh perusahaan yang menempatkan pekerja migran untuk kepentingan sediri. Di luar itu tidak boleh melakukan penempatan,” tutur Pujiono.
Sebelumnya, sepanjang 6-12 Juni 2023, Kepolisian Daerah Jateng menerima 26 laporan tentang TPPO dari sejumlah wilayah, yakni Kota Magelang, Demak, Jepara, Brebes, Kabupaten Semarang, Pemalang, Batang, Pati, Kebumen, Banyumas, Kabupaten Tegal, dan Banjarnegara. Setelah menindaklanjuti laporan-laporan tersebut, polisi meringkus 33 orang, terdiri dari 23 orang yang bertugas merekrut calon tenaga kerja dan 10 orang dari perusahaan penyalur tenaga kerja ilegal.
Menurut catatan Satuan Tugas Pemberantasan TPPO Polda Jateng, ada 1.305 orang yang telah menjadi korban TPPO dari 33 orang tersebut. Dari jumlah itu, 1.137 orang telah diberangkatkan ke luar negeri dan 168 orang masih menunggu jadwal keberangkatan.
”Dari hasil penyelidikan, kami mendapati proses pemberangkatan (pekerja) ini banyak yang menyalahi aturan. Salah satunya adalah adanya ketidaksesuaian antara visa dan paspor, misalnya tujuan pemberangkatannya untuk dipekerjakan, tetapi visa dan paspornya (untuk tujuan) wisata,” kata Kepala Satgas Pemberantasan TPPO sekaligus Wakil Kepala Polda Jateng Brigadir Jenderal (Pol) Abioso Seno Aji dalam konferensi pers, Senin (12/6/2023), di Markas Polda Jateng.
Pelanggaran lain yang dilakukan oleh pihak penyalur adalah memalsukan stempel Direktorat Jenderal Imigrasi. Dengan stempel palsu tersebut, para pekerja yang seharusnya kembali ke Indonesia untuk memperpanjang izin masa tinggal tidak perlu kembali. Visa dan paspor mereka akan ditandai dengan stempel palsu Ditjen Imigrasi yang dibuat oleh pihak perusahaan penyalur.
Akibat keterlibatannya dalam TPPO, 33 orang tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran. Ancaman hukuman maksimal 15 tahun menanti mereka.